Pada tahun 2011 lalu, Komunitas Bambu, penerbit buku-buku sejarah yang
dikelola oleh sejarawan muda, JJ Rizal, menerbitkan ulang buku
berjudul "Theosofi, Nasionalisme, dan Elit Modern Indonesia". Buku yang ditulis oleh Iskandar P Nugraha ini sebelumnya berjudul "Mengikis Batas Timur dan Barat: Theosofi dan Gerakan Nasionalisme di Indonesia"
yang terbit pada tahun 2001. Buku ini adalah hasil penelitian Iskandar
yang ditulis untuk skripsinya di Universitas Indonesia.
Dalam sinopsis yang ditulis di websitenya, Komunitas Bambu menulis, "Buku
ini menguak peran historis Gerakan Theosofi di Indonesia. Di balik
tuduhan Gerakan Theosofi adalah bagian dari konspirasi Yahudi,
dihubungkan dengan isu-isu aktual termasuk isu neolib, ternyata Teosofi
memberikan nuansa bagi cikal bakal sejarah pluralisme di Indonesia,
yakni dengan mengikutsertakan semua unsur (pribumi, Eurasia, Belanda
totok, dan Cina). Lebih jauh lagi, Gerakan Teosofi berkontribusi dalam
penciptaan nasionalisme dan kemunculan elit modern Indonesia lantaran
persentuhannya dengan gerakan pendidikan, gerakan politik, dan gerakan
wanita..."
Theosofi
yang didirikan oleh Helena Petrovna Blavatsky, seorang wanita asal
Rusia berdarah Yahudi, pada 1875 di New York, Amerika Serikat, ini
memang memberikan pengaruh yang cukup besar bagi gerak nasionalisme di
negeri ini. Banyak elit-elit nasional dan founding father negeri ini
pada masa lalu yang terpengaruh dalam ajaran-ajaran Theosofi ini.
Sebagian dari mereka bahkan menjadi anggota resmi dan memegang teguh
keyakinan Theosofi. Kebanyakan dari para tokoh yang tergabung dalam
Theosofi adalah mereka yang mengusung paham kebangsaan (nasionalisme),
dan penganut kebatinan. Mereka umumnya tertarik dengan Theosofi karena
jargon yang dikampanyekan oleh organisasi itu, diantaranya soal
pluralisme, dimana semua agama pada intinya sama saja, selama
menebarkan kebajikan, kasih sayang, toleransi, perdamaian, persamaan,
dan sebagainya. Semua itu tercermin dalam motto organisasi ini, yaitu "There is no religion higher than truth", tak ada agama yang lebih tinggi daripada kebajikan.
Jargon-jargon
tersebut pada masa itu disuarakan oleh para humanis Eropa, yaitu
mereka yang mengusung paham humanisme sebagai pokok tertinggi dalam
kehidupan, yang mana kebanyakan dari mereka adalah para penganut
Theosofi ataupun Freemasonry yang datang ketika Indonesia masih bernama
Hindia Timur atau sering disebut Hindia Belanda.
Tak
salah jika Komunitas Bambu menyebut bahwa Theosofi memberikan nuansa
bagi cikal bakal pluralisme di Indonesia. Karena, disamping para
anggotanya dari beragam etnis, bangsa, dan agama, Theosofi juga
mengajarkan kesamaan semua agama-agama (trancendent unity of religion) dan kesamaan Tuhan (trancendent unity of God)
sebagaimana tercermin dalam pemikiran para tokohnya seperti Madame
Blavatsky dan Annie Besant. Ujungnya, mereka ingin membangun sebuah
persaudaraan universal, dengan menghapus sekat-sekat agama.
Ajaran-ajaran masing-masing agama dihapus dengan nilai-nilai universal
yang berlandaskan pada paham humanisme.
Sejarawan Robert Van Niels dalam buku "Munculnya Elit Modern Indonesia"
menyatakan bahwa orang-orang Eropa yang datang ke Hindia Timur pada
masa lalu memiliki peranan penting bagi munculnya elit modern Indonesia.
Orang-orang Eropa yang datang pada masa itu, adalah para humanis yang
tak hanya bekerja sebagai pegawai kolonial, tetapi juga membawa serta
pemikiran dan kebudayaan mereka. Sejak tahun 1870, kata Van Niels,
kota-kota di Jawa tidak hanya menjadi pusat perdagangan orang-orang
Eropa, namun juga menjadi tempat bersemainya kebudayaan dan pemikiran
yang mereka bawa.
Selanjutnya
pada masa 1900-an organisasi seperti Theosofi dan Freemason makin
berkembang pesat, khususnya di Tanah Jawa dengan munculnya loji-loji
tempat pertemuan mereka di berbagai daerah. Karena itu, tak berlebihan
jika Theosofi dan Freemason disebut sebagai organisasi yang bergeliat
bersama gerak laju kolonialisme di negeri ini, yang kemudian secara
tidak langsung melalui elit-elit nasional yang direkrut menjadi
anggotanya, mempengaruhi gerak laju nasionalisme negeri ini juga.
Dalam kata pengantar buku "Teosofi, Nasionalisme dan Elit Modern" Prof. David Reeve dari Universitas New South Wales Australia menyatakan, "Dalam lingkaran orang-orang nasionalis yang sekular, begitu banyak orang-orang yang memiliki hubungan dengan Gerakan Theosofi,
"tulisnya. Prof Reeve juga menyatakan, para aktifis Teosofi yang
merupakan elit nasional pada masa lalu adalah orang-orang yang juga
banyak terlibat dalam perumusan naskah UUD 1945, meskipun ia tak berani
menyatakan bahwa prinsip-prinsip dasar Theosofi mempengaruhi pola pikir
mereka dalam menyusun UUD tersebut.
Nama-nama
seperti Mohammad Yamin, Prof. Soepono, dan Radjiman Wediodiningrat,
adalah tokoh-tokoh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) yang banyak menyampaikan gagasan-gagasan soal
prinsip-prinsip dasar negara ketika itu. Bahkan Radjiman, yang merupakan
tokoh penting dalam Gerakan Theosofi dan anggota resmi kelompok
Freemason, adalah ketua sidang BPUPKI, sidang yang kemudian menghasilkan
Pancasila sebagai dasar negara. Sedangkan Mohammad Yamin termasuk
orang yang berkontribusi besar dalam merumuskan lambang negara
Pancasila.
Tokoh-tokoh
nasional lain yang sangat dekat dengan Gerakan Theosofi adalah
Mohammad Tabrani (Tokoh kongres Pemuda Pertama pada 1926 'Ketua Pemuda
Theosofi), Ki Sarmidi Mangoensarkoro (Tokoh Taman Siswa), Ki Hadjar
Dewantara (Tokoh Taman Siswa), Tjipto Mangoenkoesomo (Tokoh Boedi
Oetomo), Goenawan Mangoenkoesoemo (Tokoh Boedi Oetomo), Armin Pane
(Sastrawan), Sanoesi Pane (Sastrawan), Mohammad Amir (tokoh Jong
Sumatrenan Bond), Datoek Soetan Maharadja (tokoh kaum adat
Minangkabau), Siti Soemandari (pemimpin Majalah Bangoen), dan
tokoh-tokoh nasional lainnya, terutama yang berasal dari Keraton Paku
Alaman Yogyakarta, organisasi Tri Koro Dharmo, Jong Java, Boedi Oetomo,
Perhimpoenan Goeroe Hindia Belanda (PGHB/cikal bakal PGRI), dan para
alumnus Sekolah Pendidikan Dokter Hindia (School tot Opleiding van
Indische Artsen/STOVIA) di Batavia.
Pada
masa berkembangnya Gerakan Theosofi, gesekan-gesekan pemikiran dengan
tokoh-tokoh Islam yang berasal dari Sarekat Islam berlangsung sengit.
Bahkan rivalitas antara Boedi Oetomo dan Sarekat Islam, diantaranya
juga berpangkal dari pemahaman soal keyakinan dan pemahaman Islam.
Tokoh
Boedi Oetomo, seperti Goenawan Mangoenkoesomo dan Radjiman
Wediodiningrat cenderung bersikap konfrontatif terhadap aspirasi Islam.
Sehingga tak heran, jika Prof Reeve sebagai akademisi yang pernah
meneliti Gerakan Theosofi, menyatakan, "Perkumpulan Teosofi mengaku terbuka untuk semua agama, namun tampaknya mereka menjalin sangat sedikit persentuhan dengan Islam," jelasnya.
Bukti
kedekatan Gerakan Theosofi dengan Boedi Oetomo terlihat dalam Perayaan
10 Tahun Organisasi Boedi Oetomo pada 1918 yang berlangsung di Loji
Theosofi, di De Ruijstestraat 67 Den Haag, Belanda. Dalam perayaan
tersebut, tokoh-tokoh Boedi Oetomo dan mahasiswa Indonesia, termasuk Ki
Hadjar Dewantara dan Goenawan Mangoenkoesomo, menggelar perayaan dan
peluncuran buku Soembangsih: Gedenkboek Boedi Oetomo 1908-20 Mei1918. Dalam buku itu, Goenawan Mangoenkoesomo menulis,
"Bagaimanapun tinggi nilai kebudayaan Islam, ternyata tidak mampu
menembus hati rakyat. Bapak penghulu boleh saja supaya kita mengucap
syahadat, "Hanya ada satu Allah dan Muhammad-lah Nabi-Nya", tetapi dia
tidak akan bisa berbuat apa-apa bila cara hidup kita, jalan pikiran
kita, masih tetap seperti sewaktu kekuasaan Majapahit dihancurkan secara
kasar oleh Demak," tulisnya.
Gerakan
Theosofi di Indonesia meninggalkan jejak sejarah yang panjang di
negeri ini. Beberapa tokoh yang dikemudian hari menjadi elit nasional
di negeri ini, tak lepas dari persentuhannya dengan aliran kebatinan
Yahudi ini. Baik sebagai anggota resmi, ataupun sekadar berinteraksi
dengan kelompok ini. Pada masa lalu, untuk mengenang keberadaan Gerakan
Theosofi, beberapa tempat di Jawa, menggunakan nama-nama dari tokoh
Theosofi. Seperti Blavatsky Park di Batavia, Olcott Park di Bandung,
dan Besant Square di Semarang. Nama-nama itu merujuk pada tokoh-tokoh
Theosofi: Madame H.P Blavatsky, Henry Steel Olcott, dan Annie Besant.
Sejawaran
Universitas Indonesia, Harsja W. Bachtiar menggambarkan tentang apa
dan siapa Gerakan Theosofi itu. Dalam sebuah tulisan mengenai Moh.
Amir, tokoh Jong Sumatrenan Bond (JSB) yang juga anggota Theosofi,
Harsja menulis, "Theosophical Society (Perkumpulan Theosofi), yang
dicipta oleh Madame H.P. Blavatsky, seorang bangsawan Rusia, dan Henry
Steel Olcott, seorang penganut kebatinan, di New York tahun 1875, dan
yang kemudian dipimpin oleh Annie Besant, berusaha mencari kearifan
Tuhan, ajaran-ajaran kebatinan seperti Karma dan Reinkarnasi,
menyatukan sekalian agama, dan menyatukan agama dan ilmu
pengetahuan,"tulisnya.
Harsja
W. Bachtiar kemudian menuliskan bahwa beberapa orang yang dikemudian
hari menjadi elit nasional masuk menjadi anggota perkumpulan Dienaren
van Indie (Abdi Hindia), sebuah perkumpulan yang didirikan oleh Gerakan
Theosofi. Mereka adalah Mohammad Hatta, Djamaluddin Adinegoro (tokoh
pers Indonesia), Mohammad Jamin (tokoh Jong Sumatrenan Bond), dan
Bahder Djohan (mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada kabinet
Natsir dan Wilopo). Tokoh-tokoh lain yang menjadi anggota Dienaren van
Indie selain yang disebutkan oleh sejarawan Harsja W. Bachtiar tersebut
adalah, Siti Soemandari (tokoh perempuan Indonesia), Ki Sarmidi
Mangoensarkoro (tokoh pendidikan Indonesia), Prof. Soepomo (salah
seorang perumus UUD 45), dan Prof. Soekanto (tokoh kepolisian
Indonesia).
Perkumpulan
Dienaren van Indie yang dipimpin oleh tokoh Theosofi Ir. A.J.H van
Leeuwen memberikan beasiswa pendidikan (studie fond) kepada tokoh-tokoh
tersebut. Untuk menyatakan keanggotaan mereka, pada nama belakang
mereka harus dicantumkan huruf "DI" sebagai tanda dari perkumpulan ini.
Anggota Dienaren van Indie yang paling mencolok kiprahnya diantaranya
adalah Mohammad Tabrani, tokoh Jong Theosofen (Pemuda Theosofi) yang
menjadi penggagas Kongres Pemuda Indonesia pertama pada 1926. Kongres
ini diselenggarakan atas biaya kelompok Freemason dan diadakan di loji
milik Freemason di Batavia. Loji ini juga sering dijadikan tempat
berkumpul para anggota Theosofi, mengingat dua organisasi ini memiliki
kesamaan tujuan, yaitu menjadikan paham humanisme sebagai doktrin
tertinggi dalam kehidupan. Pada masa lalu, kebanyakan mereka yang
menjadi anggota Theosofi, juga menjadi anggota Freemason.
Sosok
yang paling menarik perhatian dari anggota perkumpulan Dienaren van
Indie adalah Mohammad Hatta. Dalam buku "Gerakan Theosofi di Indonesia"
penulis menyatakan, Hatta setidaknya pernah bersentuhan dengan
organisasi ini atau setidaknya berusaha dijerat untuk masuk sebagai
anggota Theosofi. Hatta bersentuhan dengan Theosofi dalam arti beliau
pernah menjadi anggota Dienaren van Indie dan mendapat beasiswa dari
perkumpulan ini. Persentuhan Hatta dengan Theosofi melalui tokoh
bernama Ir. P Forunier dan Ir. A.J.H van Leeuwen. Sedangkan mengenai
usaha menjerat Hatta masuk sebagai anggota Theosofi bisa dilihat dari
buku otobiografinya. Dalam buku berjudul, "Mohammad Hatta untuk Negeri"
ia menuliskan pengalamanya yang berusaha dibujuk masuk untuk menjadi
anggota Theosofi.
Dalam
buku biografinya, Mohammad Hatta menulis sub bab tersendiri, berjudul
"Bujukan Theosofi". Hatta menulis, "Hubunganku dengan Ir. Fournier dan
Ir. Van Leeuwen ada pula sejarahnya. Selama aku belajar pada PHS (Prins
Hendrick School) di Batavia dan menjadi anggota pengurus JSB (Jong
Sumatrenan Bond), mereka berdua itu selalu mendekat pemuda-pemuda yang
menjadi pengurus Jong Java dan Jong Sumatranen Bond. Mereka yang berdua
itu banyak sekali menganjurkan supaya pergerakan pemuda yang bersifat
kedaerahan perlu bersatu menjadi Jong Indie. Sebagai contoh
dikemukakannya gerakan pemuda di India yang bernama Young India.
Sekaligus mereka juga mengajak aku untuk menjadi anggota Theosofi.
Sepanjang pengetahuanku, yang kena jerat mereka ialah Basuki dari Jong
Java dan Amir dari Jong Sumatranen Bond. Mungkin juga Muhammad Yamin
terkena. Aku menolak terus terang, dengan alasan aku taat kepada
Islam."demikian tulis Hatta dalam memoarnya.
Meski
Hatta sudah menolak ajakan masuk sebagai anggota Theosofi, ia terus
dibujuk dan diyakinkan agar bisa bergabung dalam organisasi ini. Ia
menulis, "Ir. Fournier mengatakan, agama Islam tidak menjadi halangan
untuk menjadi orang Theosofi. Theosofi bukan agama katanya, melainkan
ajaran dan Theosofi memperkuat pendirian Islam untuk mencapai
persaudaraan bangsa-bangsa di dunia ini. Tetapi aku terus menolak.
Rupanya telah mendapat persetujuan, antara Ir. Fournier, Ir. Van
Leeuwen, Amir dan Basuki untuk mengadakan suatu organisasi pemuda baru
dengan nama Dienaren van Indie, disingkatkan dengan "DI"", tulisnya
lagi.
Demikianlah,
Gerakan Theosofi mempunyai beragam cara untuk bisa merekrut
orang-orang pribumi. Mereka membentuk kelompok-kelompok diskusi,
organisasi-organisasi kepemudaan, lembaga riset ilmu pengetahuan dan
seni budaya, serta memberikan beasiswa. Tokoh-tokoh yang disebutkan di
atas, pada perjalanan selanjutnya menjadi elit-elit nasional, yang
merumuskan, membangun, dan menentukan arah perjalanan bangsa ini pada
waktu itu. Ironisnya, elit-elit modern Indonesia pada masa lalu itu
adalah mereka yang pernah bersentuhan bahkan bergabung menjadi anggota
Gerakan Theosofi. Rekam jejak mereka yang memarginalkan kepentingan
umat Islam pun sangat kentara. Tak heran, jika sampai saat ini, negeri
ini masih berada dalam sistem pemerintahan sekular, karena sejak
ratusan tahun lalu, doktrin-doktrin yang menihilkan peran agama dalam
sistem pemerintahan sudah dijalankan melalui organisasi-organisasi
pengusung humanisme sekular, diantaranya Theosofi.
Meski
lepas dari bujukan untuk masuk sebagai anggota Theosofi, namun
Mohammad Hatta terus didekati oleh tokoh-tokoh Theosofi. Bahkan, atas
jasa tokoh Theosofi ia mendapat beasiswa di negeri Belanda. Lalu,
mengapa Hatta masuk dalam perkumpulan Dienaren van Indie yang dibentuk
oleh Theosofi?
Seperti
diceritakan dalam tulisan sebelumnya, Mohammad Hatta menolak bujukan
Theosofi agar ia mau bergabung sebagai anggotanya. Dengan dalih bahwa
Theosofi bukanlah agama, melainkan sebuah perkumpulan persaudaraan,
tokoh Theosofi kala itu yang bernama Ir. Fournier terus meyakinkan
Hatta agar masuk dalam perkumpulan yang didirikan oleh Madame Blavatsky
ini. Untung saja Mohammad Hatta tak mau bergabung, dengan alasan ia
taat kepada Islam. Meskipun dalam perjalanan sejarahnya kemudian,
ketaatan Hatta terhadap Islam dipertanyakan, karena memberi andil bagi
terhapusnya Piagam Jakarta, yang merupakan tonggak awal penegakkan
syariat Islam di Indonesia.
Propaganda
bahwa Theosofi bukanlah sebuah agama hanyalah kedok belaka dari upaya
merusak keyakinan agama-agama yang ada. Perhatikanlah apa yang
dinyatakan oleh salah seorang tokoh Theosofi, Annie Besant, sebagaimana
dikutip dalam Majalah Pewarta Theosofi Boewat Indonesia tahun 1930. Ia
menyatakan, "Kami berseru kepada kalian semua, marilah kita
bekerjasama untuk agama ketentraman, agama kenyataan, agama
kemerdekaan, di dunia kerajaan dari surga yang sejati, inilah kita
punya haluan..."
Pernyataan
Annie Besant seolah bagus, bahwa Theosofi adalah perkumpulan yang
terdiri dari beragam agama yang bertujuan menyebarkan ketentraman dan
kemerdekaan. Namun, ujung dari semua itu adalah menihilkan klaim
keyakinan mutlak terhadap masing-masing agama. Selama tiap agama
mengabdi kepada ketentraman, persaudaraan, dan perdamaian, maka pada
hakikatnya semua agama sama. Inilah maksud dari propaganda Theosofi
itu. Kita digiring pada pemahaman bahwa semua agama sama benar, dan
tidak boleh ada yang merasa paling benar.
Senada
dengan Besant, Madame Blavatsky yang mendapat julukan Sang Guru dari
para anggota Theosofi mengatakan bahwa Theosofi adalah The Wisdom Religion
(Agama Kearifan) yang berusaha menyatukan semua agama-agama yang ada
dalam sebuah "kesatuan hidup" yang selaras dengan nilai-nilai
kemanusian. Jadi, ukurannya adalah nilai-nilai kemanusiaan, yang
menjadi doktrin tertinggi dalam pengabdian hidup Theosofi. Karena itu,
pada akhirnya, semua ajaran agama yang tidak selaras dengan nilai-nilai
kemanusian, tidak sesuai dengan konvensi internasional, mengancam
persaudaraan antar bangsa dan lain-lain, harus dihapuskan. Inilah
tujuan sesungguhnya di balik pemahaman Theosofi itu. Karenanya, apa
yang dikatakan oleh Ir. Fournier kepada Mohammad Hatta bahwa Theosofi
justru akan menguatkan pandangan keislaman, itu hanya tipuan belaka.
Tepat sekali jika Hatta menulis sub bab dalam biografinya dengan judul
"Bujukan Theosofi", karena yang namanya bujukan terkadang mengajak pada
sesuatu yang di luar kenyataan.
Meski
gagal membujuk Hatta masuk dalam perkumpulan Theosofi, namun para
propagandis Theosofi tak patah arang untuk mendekati Hatta. Diantaranya
dengan mengajaknya masuk dalam perkumpulan Dienaren van Indie
(Abdi Hindia), sebuah perkumpulan yang didirikan oleh para aktifis
Theosofi di Hindia Belanda kala itu. Beberapa peneliti tentang Gerakan
Theosofi dan Freemason, seperti Sejarawan Ridwan Saidi dan A.D
El-Marzededeq, menyebut Dienaren van Indie tak lebih dari kepanjangan tangan organisasi Vrijmetselarij (Freemason) dan Theosofi.
Dalam
Memoir Mohammad Hatta diceritakan, "Aku diundang menghadiri suatu
pertemuan, yang diadakan semalam sebelum aku berangkat ke Sumatera
Barat dan seterusnya ke negeri Belanda. Dari Jong Sumatrenan Bond,
selain Amir (Mohammad Amir, red) dan aku, diundang juga Bahder Djohan
dan Nazif. Beberapa orang dari Jong Java, selain dari Basuki, aku lupa
namanya. Malam itu juga, berdasarkan cita-cita persatuan, tolong
menolong dan persaudaraan, didesakkan berdirinya "Orde Dienaren van
Indie". Pada berdirinya Orde Dinaren van Indie itu diajarkan
dan dilaksanakan sekaligus ritual-ritual yang dilakukan pada pembukaan
dan penutupan rapat atau pertemuan. Pertemuan itu berlangsung sampai
pukul 11 malam..." demikian cerita Hatta.
Dalam
catatan otobiografinya di atas, Hatta menyebutkan bahwa pada
berdirinya perkumpulan Dienaren van Indie, diajarkan dan dilaksanakan
ritual-ritual. Apa ritual-ritual yang dimaksud? Mengingat Theosofi juga
mengajarkan okultisme (ilmu gaib), maka bisa jadi yang dimaksud
ritual-ritual itu adalah ritual khas Theosofi yang sangat klenik dan
berbau mistis. Karena Theosofi sangat kental dengan pengaruh ajaran
esoteris khas Yahudi, seperti Kabbalah. Ritual Theosofi dan Freemason
yang sangat mistis inilah yang kemudian pada masa lalu orang-orang
pribumi menyebut gedung tempat berkumpulnya dua organisasi ini sebagai
"Gedong Setan".
Mohammad
Hatta, yang kemudian hari menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia
pertama, memang lepas dari bujukan Theosofi. Ia kemudian berangkat ke
negeri Belanda untuk memperoleh beasiswa dari Van Daventer Stichting
(Yayasan Van Daventer), sebuah yayasan yang mengambil nama seorang
tokoh Politik Etis. Namun beasiswa itu gagal diperolehnya. Sementara
itu, Hatta menceritakan, "Aku juga menerima sepucuk surat dari Ir.
Fournier, kepala gerakan Theosofi di Indonesia. Ia akan datang pada
bulan Juli 1923 di Nederland dan ingin bertemu dengan aku. Bersama dia
akan datang juga Ir. Van Leeuwen. Itulah surat pertama yang ku terima
dari Ir. Fournier selama dua tahun aku berada di Eropa.."
Setelah
kedua tokoh Theosofi yang dikenalnya sejak di Indonesia tiba di negeri
Belanda, Hatta kemudian menemuinya. Ia bertemu dengan Ir. Fournier dan
Van Leeuwen di Den Haag. Entah ada maksud tertentu atau tidak, kedua
tokoh Theosofi ini tak lelak mendekat Hatta. Setelah Hatta menceritakan
kegagalannya mendapat beasiswa dari Van Daventer Stichting, Ir. Van
Leeuwen kemudian mengusahakan beasiswa bagi Hatta sampai benar-benar ia
memperolehnya. Alhasil, atas usaha Van Leeuwen, Hatta mendapat
beasiswa selama tiga tahun.
Mohammad
Hatta memang lepas dari bujukan Theosofi, namun ia tidak bisa luput
dari perhimpunan Dienren van Indie yang didirikan oleh para aktifis
Theosofi. Catatan Hatta berikut ini akan memberikan gambaran kepada
pembaca sekalian, bahwa Hatta adalah anggota Dienaren van Indie. Hatta
menceritakan perpisahannya dengan dua tokoh Theosofi, Ir. Fournier dan
Ir. Van Leeuwen, di negeri Belanda, dengan menulis, "Rupanya kami tidak
bertemu lagi sebelum mereka berangkat ke Indonesia. Lalu kami bersalam-salaman secara persaudaraan, menurut dasar D.I (Dienaren van Indie) dengan mengulurkan kedua belah tangan..." tulis Hatta.
Apa yang dimaksud oleh Hatta dengan bersalam-salaman secara persaudaraan menurut dasar Dienaren van Indie?
Apakah sama dengan jabat tangan ala Freemason, mengingat Dienaren van
Indie juga dibentuk oleh aktifis organisasi ini? Perkara sepele ini
menjadi pertanyaan besar, mengingat Hatta adalah tokoh besar bangsa ini.
Dan sejarah adalah rangkaian peristiwa yang saling mengait, kemudian
terhimpun menjadi sebuah fakta sejarah.
No comments:
Post a Comment
Jika anda mempunyai sepucuk kata, tolong tempatkan disini, jika berkenan